LEMBATA-HRC. Ini ‘tradisi’ baru bagi DPRD. Ketika dicermati, tak satupun regulasi yang mengatur tentang hak DPRD mengusulkan tiga nama untuk diseleksi dan ditetapkan salah satunya menjadi penjabat bupati oleh Mendagri.
Wajar bila terasa ada sesuatu yang ganjil. Mendagri memberi ruang kepada DPRD mengusulkan tiga nama penjabat bupati tanpa landasan yuridis yang jelas. Selain itu, pengusulan tiga nama ini semacam eksperimen menuju pengembalian hak DPRD memilih seorang Bupati dan wakil Bupati sebagai perwujutan sila ke 4 Pancasila. Belum lagu, kewenangan mengusulkan tiga nama ini bukanlah semata hak ‘legislasi’ DPRD, tetapi juga masih menjadi hak preoregatif gubernur. Jika dikaitkan dengan urusan politik, seorang Gubernur bisa saja merancang strategi pemenangan Pemilu 2024 melalui penempatan seorang penjabat Bupati demi kepentingan politiknya. Me be yes me be no-bisa benar-bisa tidak.
Setali tiga uang, sebentar lagi masa jabatan penjabat bupati Lembata akan berakhir di bulan Mei tahun 2023. Merujuk amanat UU Nomor 10 Tahun 2016 pasal 201 ayat ( 9) bahwa Pejabat Gubernur, Pejabat Bupati, dan Pejabat Wali Kota, masa jabatannya 1 (satu ) tahun dan dapat diperpanjang 1 (satu) tahun berikut dengan orang yang sama ataupun berbeda. Ironisnya, menjelang berakhirnya masa jabatan penjabat bupati Lembata dan penjabat bupati Flotim, Mendagri menyurati Gubernur dan DPRD Kabupaten Flotim dan DPRD kabupaten Lembata untuk masing-masing, mengusulkan 3 nama calon Penjabat bupati Lembata maupun penjabat Bupati Flotim ke Mendagri agar salah satunya ditetapkan sebagai Penjabat Bupati.
Demikian yang akan terjadi di kabupaten Lembata. Praktis, sudah hampir setahun Lembata di pimpin seorang Penjabat Bupati hasil penunjukan Gubernur NTT sesuai amanat pasal 201 ayat (9) UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang perubahan kedua atas UU Nomor 1 tahun 2015 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti UU Nomor: 1 tahun 2014 tentang pemilihan Gubernur, Bupati, wali kota menjadi Undang Undang telah menegaskan bahwa untuk mengisi kekosongan Jabatan Bupati / wali kota yang berakhir masa jabatan pada tahun 2022, diangkat penjabat bupati / wali kota yang brrasal dari jabatan pimpinan tinggi pratama.
Dan hal ini sudah dilakukan oleh Gubernur selaku pemerintah pusat yang ada di daerah sejak bulan Mei tahun 2022 untuk Kabupaten Flotim dan Kabupaten Lembata.
Ini yang disebut tarikan pelatuk Menteri Dalam Negeri ‘ngeri-ngeri sedap’ memberi ruang kepada DPRD mengusulkan tiga nama Penjabat Bupati yang mengadung sejuta tanya, penuh dinamika dan penuh dengan perdebatan.
Sebut saja, DPRD cuman diberi kewenangan hanya sebatas mengusulkan tiga nama penjabat, sementara keputusan penetapan, tetaplah menjadi hak otonomnya Mendagri.
Selain itu, landasan yuridis ataupun dasar hukum ‘pendelegasiaan’ kewenangan secara yuridis sangatlah kabur alias tidak ada, seperti makan buah simalakama, dimakan ayah mati, dimakan ibu juga mati. Karena itu ‘cerita ini’ musti dimaknai cecara kompleks bahkan perlu dikaji secara komperehensif agar jelas kedudukan hukumnya, jelas pula peraturan perundang-undang yang memayuinginya.
Mungkin ada benarnya mari berpikir sambal berzikir, tentang syair lawas Ebiet G. Ade, ‘ini dosa siapa-ini salah siapa, jawabnya ada di relung kalbu’’ mengapa ruang itu baru diberi sekarang, sementara masa transisi pemerintahan sudah berjalan satu tahun dan secara faktual sudah diberi wewenang kepada Gubernur untuk mengusul nama penjabat sejak tahun lalu. Apakah ini tidak semacam ekperimen mencari bentuk ideal atau tidak disebut membenturkan ‘kepentingan DPRD dengan gubernur, coba tanya kepada rumput yang bergoyang.
‘Mengapa kesempatan ini diberikan kepada DPRD dan juga kepada Gubernur untuk sama sama mengusulkan 3 nama yang kemudian oleh Mendagri menetapkan.salah satu nama, ini salah siapa-ini dosa siapa.
Tetapi kemudian, terlintas dalam benak bernas, jika diperhatikan dengan cermat, ruang yang diberikan Mendagri bisa juga dikatakan menjadi penanda yang gamblang sebagai langkah awal sebuah eksperimen menuju ke pengembalian hak DPRD untuk memilih seorang Bupati dan wakil Bupati sebagai perwunudan dari sila ke 4 Pancasila, me be yes, me be no atau juga pihak Kementerian Dalam Negeri memberi ruang kepada DPRD setempat agar bisa mengorbitkan putra putri daerah terbaik di daerah untuk menjadi pemimpin, karena mereka lebih memahami daerahnya termasuk berbagai kearifan lokal yang dapat diretas untuk memajukan daerahnya, tanpa dikotomoi dan diskriminatif.
Ataukah Mendagri ingin mengurangi disparitas ketidak harmonisan antara Penjabat dan DPRD karena terkesan selama ini Penjabat Bupati tidak terlahir dari sebuah proses demokrasi dimana rakyat yang menentukan pemimpinnya, dan bukan ditunjuk Gubernur cenderung tidak akur dengan DPRD, bisa benar-bisa tidak.
Karena itu bagi partai sekelas PDI Perjuangan, sangatlah terlalu dini berbicara soal siapa yang pantas menjadi Penjabat Bupati. Terlalu dini juga menyebut sejumlah nama menghiasi lembaran ususlan. PDIP bakal menyikapinya setelah berkonsultasi dengan Mendagri, termasuk mekanisme dan indikator apa mendapatkan tiga calon penjabat bupati Lembata.
G. Fransiskus Langobelen
Ketua DPC PDI Perjuangan Kabupaten Lembata
Wakil Ketua I DPRD Kabupaten Lembata.