Lembata,HRC- Nowing atau Kwatek adalah kain tenun khas Lamaholot bagi pria dan wanita yang terbuat dari bahan-bahan alami. Biasanya, kedua jenis kain tenun itu dipakai pada moment-moment tertentu seperti saat ritual adat, pesta besar perkawinan, saat upacara keagamaan ataupun kematian. Orang Lamaholot yang memiliki dan memakainya akan dipandang lebih spesial atau istimewa dibandingkan dengan orang lain yang tidak memilikinya.
Saat ini, kain Nowing dan Kwatek Lamaholot banyak dicari oleh para wisatawan manca negara untuk dijadikan koleksi pribadi. Keunikan proses awal pengerjaan dan cara pembuatan hingga menghasilkan kain tenun yang berkualitas, menambah daya tarik tersendiri bagi wisman untuk memilikinya.
Namun, seara dengan berjalannya waktu, kenyataan hari ini berbanding terbalik dengan fakta di lapangan. Khusus di Lembata, keberadaan kain Nowing dan Kwatek saban waktu semakin langka. Semakin jarang terlihat atau semakin sulit ditemukan.
Ini senapas juga dengan keadaan penenun Lembata yang semakin uzur termakan usia. Bahkan ada penenun yang sudah meninggal dunia. Kondisi ini mengakibatkan penenun-penenun asli Lembata yang berkecimpung khusus di kain tenun adat semakin berkurang atau sedikit, tidak bertambah. Mereka-mereka inipun saat ini kalau dibilang, bisa dihitung dengan jari.
Kalau hal ini dibiarkan terus berlanjut, tanpa ada regenerasi yang bisa melanjutkannya dan tanpa ada kepedulian dari semua pihak terutama generasi muda Lembata untuk melestarikannya, saya yakin jangankan lima belas atau dua puluh tahun, lima atau sepuluh tahun ke depan kain tenun asli yang menjadi kebanggaan, yang menjadi kekhasan daerah ini akan punah atau hilang.
Bahkan bisa jadi, kekayaan intelektual yang begitu unik, yang kaya akan tradisi dan begitu banyak nilai budaya yang terkandung di dalamnya, yang telah diwariskan para leluhur untuk generasi Lembata, kalau tidak dijaga dengan baik, bisa jadi diambil atau dipatenkan oleh pihak luar sebagai hasil karya mereka.
Kalau ini yang terjadi, siap yang harus disalahkan? Apakah pihak luar, ataukah kita yang lalai. Kita yang terlalu bangga dengan diri sendiri, ataukah mungkin generasi milenial yang lebih bangga akan produk-produk buatan luar negeri.
Hal ini menjadi kecemasan tersendiri bagi seorang Ketua Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Kabupaten Lembata, Yoram Enggelina Koy saat membawakan materi dalam acara Sarasehan Tenun Ikat Lamaholot, yang di helat oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Lembata, di aula gedung Dekranasda, ex-rujab Bupati, Lewoleba, Kabupaten Lembata, NTT, Jumat (5/5/2023).
Wanita asli daratan Timor ini, yang ikut suaminya ke Lembata karena tugas dan pengabdian, merasa prihatin dengan kondisi ini. Ia melihat fenomena di Lembata, kain tenun yang menjadi tradisi nenek moyang, yang menjadi simbol peradaban waktu itu, kian hari kian tergerus dengan membanjirnya produk instan yang begitu dominan di pasaran lokal.
Karena itu, Ketua Dekranasda ini menyampaikan apresiasi kepada Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Lembata, yang telah menyelenggarakan kegiatan sarasehan bertajuk Tenun Ikat Lamaholot, dengan menghadirkan nara sumber dan peserta yang kompeten di bidangnya.
Namun demikian, ia masih sedikit merasa kecewa karena ketidakhadiran ibu-ibu Camat dan ibu-ibu Kepala Desa di acara ini. Ia memandang kegiatan ini begitu penting untuk sebuah harapan yang lebih baik di masa depan dalam menyelamatkan warisan tenun ikat Lembata. Karena bagaimanapun, kolaborasi antara semua pihak, antara semua stakeholder baik Kabupaten, Kecamatan ataupun di Desa menjadi sangat penting untuk dilakukan.
Dia secara tegas mengatakan bahwa penenun itu sangat penting. Dari tangan penemuan-penemuan terampil inilah, hasil karya itu dikenang, hasil karya itu dibanggakan. Karena itu, ia menyampaikan bahwa di era modern ini, penenun jangan lagi dibatasi hanya kepada kaum wanita saja, tapi juga kalau kaum pria yang pingin menjadi penenun, silahkan saja.
Baginya, siapapun dia kalau memiliki bakat dan ketrampilan sebagai seorang penenun, patutlah kita bersyukur. Karena, kalau kita tidak segera mewarisi keterampilan menenun kepada generasi berikutnya, maka dikawatirkan kekayaan kita yang begitu unik akan putus.
Maka dari itu, Ketua Dekranasda Kabupaten Lembata ini meminta peserta yang hadir agar segera mempersiapkan generasi berikutnya dengan baik. Minimal di dalam keluarga, harus ada salah satu orang sebagai penenun.
“Bagaimanapun caranya, entah dibimbing perlahan secara pribadi, atau dilatih secara kelompok, yakinkan kepada dia bahwa tenun ini juga dapat mendatangkan manfaat bagi kehidupannya. Saya berharap salah seorang anak bisa dipersiapkan sebagai penerus sehingga tidak putus tradisi ini,” jelas Ketua Dekranasda Lembata.
Kepada peserta yang hadir, Ketua Dekranasda pun lantas memberikan tantangan. Bolehkah mama-mama menjadikan tenun sebagai pekerjaan utama? Terhadap tantangan ini, semua peserta serempak menjawab, bisa.
Ketua pun balik bertanya, caranya bagaimana? Mereka pun terdiam. Akhirnya ketua menjelaskan bahwa menenun itu butuh waktu, butuh keterampilan khusus. Dan itu dijalaninya setiap hari sebagai pekerjaan pokok. Kalau masalah kebun, biarlah orang lain yang mengurusnya. Karena menenun tidak semua orang bisa melakukannya, sedangkan berkebun semua orang bisa melakukan. Itulah perbedaannya, sehingga ia minta jadikan aktivitas menenun sebagai pekerjaan pokok atau utama.
Ia kemudian melanjutkan, biasanya proses ikat, celup dan jemur itu memakan waktu yang cukup lama. Tapi kalau sudah ke proses tarik, luruskan hinga tenun bisanya kilat atau cepat. Kalau seperti itu, harus diatur. Menyiapkan benang, pintal, ikat dan seterusnya, harus diatur secara baik. Dan itu bisa diatur dengan membagi tugas kepada sesama anggota kelompok sehingga cepat. Kalau itu dilakukan dengan baik, ia yakin hasilnya pun semakin banyak dan cepat, yang tentunya tidak mengabaikan kualitas dari hasil tenunan itu.
Ketua juga menjelaskan terkait keberadaan gedung Dekranasda Kabupaten Lembata ini. Gedung ini dapat dijadikan sebagai tempat penitipan hasil tenun untuk dipajang atau dijual kepada pengunjung yang berkenan mampir di galeri Dekranasda ini.
Jadi untuk meluruskan persepsi tentang fungsi galeri Dekranasda disini supaya tidak disalah tafsirkan, ia lantas menjelaskan secara tegas bahwa galeri Dekranasda ini adalah tempat penitipan hasil karya mama-mama bukan tempat menjual hasil tenunan mama-mama.
“Dekranasda tidak mencari untung. Dekranasda tempat untuk menyalurkan, memperkenalkan tenun mama-mama kepada masyarakat luar,” ujar ibu Penjabat Bupati ini kepada peserta sarasehan.
Acara yang dipandu Sekretaris Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Lembata, yang juga pemerhati tenun Lamaholot, Antonius Buga Lianurat ini, menghadirkan nara sumber selain Ketua Dekranasda Kabupaten Lembata, Yoram Enggelina Koy, ada juga Dokter Linda, pemerhati tenun asal AS, yang begitu peduli terhadap kekhasan kain tenun asli Lamaholot, serta Yulianti Peni, Kurator Museum Seribu Moko, dari Kabupaten Alor.
Peserta yang hadir pun berasal dari kelompok tenun ikat Desa Lamalera A, Lamalera B, Lelaata dan juga dari Lewoleba dan Ile Ape. (Bb)