Oleh Anthony Tonggo
Pengamat Sosial Politik
Yogyakarta,HRC- Kesannya, tidak ada pihak yang berniat baik untuk menyelesaikan kasus itu. Bahkan membiarkan yayasan itu berada diantara abu-abu: milik Pemda, milik yayasan, atau milik pribadi.
Dilihat dari bentuk lembaga sebagai “yayasan”, secara regulasi, mestinya yayasan milik publik yang sudah diatur melalui AD/ART yang teraktekan.
Namun, dalam banyak praktik, termasuk di Jawa, Yayasan sering diposisikan sebagai milik pribadi. Makanya banyak yayasan ( termasuk dibidang pendidikan) dikuasai segelintir orang layaknya sebuah CV, PT, UD, dam lain- lain. Salah satu indikasinya adalah pengurusnya (terutama pimpinannya) nyaris tidak tergantikan.
Di Jawa sering terjadi konflik antar-kubu, contoh paling heboh di tahun 90-an adalah Univ. Satya Wacana (UKSW) Salatiga yang berdiri di barisan reformis adalah Prof. Arief Budiman Cs.
Itu pun baru terjadi reformasi setelah ada tokoh-tokoh demokrasi muncul di kampus itu seperti Arief Budiman, Ariel Heryanto, George Aditjondro, N. Daldjuni, dan lain-lain.
Jadi, selama tidak ada oknum-oknum reformis di tubuh yayasan/universitas, maka yayasan/universitas itu dikelola ala cv, pt, dll., tapi ke publik mereka mengatakan milik umum, bahkan bilang milik pemda.
Selain kehadiran tokoh-tokoh reformis, mestinya pemerintah pusat Kemendikbud, Kemenkumham, dan lain-lain perlu mengontrol ketat berbagai praktik aneh itu. Sayangnya kontrol itu tak pernah terjadi, sehingga membiarkan yayasan/universitas swasta berjalan seenak perut sendiri.
Kaum reformis tidaklah terlalu banyak di masyarakat kita. Kasus seperti Arief Budiman Cs di UKSW tidaklah umum. Umumnya stakeholder takut & tunduk pada penguasa yang sedang memimpin adalah Yang Maha Kuasa.(Icha)***