Lembata,HRC- “Jikalau ingin lari dan menghindari masalah maka jangan jadi pemimpin sebaiknya mengundurkan diri”
Di negeri ini, jika diurus dengan baik semua bakal merasa senang dan bahagia. Benarkah demikian? Benarkah dalam urusan pendataan Tenaga Non ASN sudah menyentuh dimensi “rasa” dan mengakomodir “peraturan yang maksimal” sejalan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi? Ataukah hanya sebagai pemanis ibarat kata “manis dibibir mengucap kata”. Belakangan, “pendataan” Tenaga Non ASN menjadi “trending topik” dan headline news sejumlah media online. Bahkan setelah pemerintah menggelar konfrensi pers pun, “dentuman” beruntun terus saja bergema.
Bintangnya terus bersinar bersama bergulirnya waktu. Waktu jugalah yang mengantarkan dirinya seperti saat ini, menjadi sosok politisi yang “kritis” populis dan peduli terhadap dinamika social yang berkembang di negeri satu pulau tanah Lepan Batan termasuk “urusan” terkait Pendataan Tenaga Non ASN.
Terkait Pendataan Tenaga Non ASN, sang “ banteng gemuk bermulut putih ” Gewura Fransiskus Langobelen kepada Media Independen Hak Rakyat, Selasa, (07/09/22) menggugah rasa Pemerintah Kabupaten Lembata untuk tidak “menyayat luka baru di atas luka lama” dengan syair romantis penuh romantisme era 1984 karya artis legendaris Ebiet G Ade ” KAU SAYAT LUKA BARU DIATAS LUKA LAMA, COBA BAYANGKAN BETAPA SAKITNYA . HANYALAH TUHAN YANG TAHU PASTI BETAPA SAKITNYA.
Sebenarnya menurut Gewura Fransiskus, Syair lagu Ebiet G Ade yang bernuansa reflektif menggugah rasa ini didedikasikan untuk mengguncang rasa kaum muda yang lagi dilanda aroma romantika diamor. Tetapi seiring berjalannya waktu bait lagu inipun layak direfleksikan bagi anak-anak negeri ini yang berulang-ulang mengadu nasib sebagai pekerja di ladang pemerintah, tetapi tak pernah “meraih untung”, “untung tak dapat dipetik, malang saja yang terus diraih” lebih banyak menuai kecewa. “Salah siapakah ini, ini salah siapa. Dosa siapakah ini, ini dosa siapa,? Jawabnya hanya di relung kalbu.
Wakil Ketua I DPRD Kabupaten Lembata ini membuka kembali lembaran cerita yang tersulam rapih dalam perpustakaan hatinya, berangkat dari refleksi batinnya terhadap kondisi “rekrutmen” pegawai oleh Pemerintah Kabupaten Lembata yang semula diberi label dengan nama Tenaga Kerjasama Operasional (KSO), kemudian berubah ujud atau nomenklaturnya menjadi Pegawai Pemerintah Non Pegawai Negeri Sipil (PPNPNS) atau tenaga Non ASN, yang kerap menahan rasa menjadi “korban” kebijakan politik yang tidak populis yang tiap tahun per 31 Desember diberhentikan berdasarkan SK Bupati dan tidak dipanggil lagi tahun berikutnya dengan alasan macam-macam.
Anehnya, muncul lagi “orang baru” yang dikukuhkan dengan SK Bupati untuk bekerja pada tahun berjalan dengan macam-macam alasan. Ini salah siapa, ini dosa siapa..jawabnya hanya di relung hati. Kapan berakhir???. Hanya karakter pemimpin yang humanis dan berhati bersih lah yang dapat menyelesaikan masalah ini. Coba tanya pada rumput yang bergoyang.
Belakangan Tenaga Non ASN menjadi fenomen menarik, “trending topik dan head line news” sejumlah media, terutama pendataan yang dilakukan masing-masing SKPD sejak Juli 2022 untuk Tenaga Non ASN dengan kurun waktu kerja paling kurang 1 (satu) tahun sesuai Surat Edaran MENPANRB ataupun pendataan per 31 September 2022, berdasarkan Surat Edaran Sekda Lembata 1 September 2022 setelah berkomunikasi dengan KEMENPANRB. Pendataan per 1 September ini menurut Gewura menimbulkan preseden kurang baik karena masa kerja Tenaga Non PNS yang didatakan itu belum genap satu tahun.
Terhadap pendataan Tenaga Non ASN, politisi PDI Perjuangan ini mengatakan Pemerintah Kabupaten Lembata terlanjur membangun konstruksi berpikir “semu” dan lebih memilih menyulut masalah ketimbang mencari solusi. Hal ini terlihat jelas dari cara pandang dan pemahaman pemerintah terkait tenaga PPNPNS atau tenaga Non PNS yang tidak tersistem, sistematis dan terstruktur dengan cara memangkas asa atau harapan seorang Tenaga Non ASN untuk tetap bekerja dilingkup instansi pemerintah sepanjang regulasi memungkinkan, bukan dengan cara memberhentikan dengan alasan macam-macam.
Coba belajar bijak dari Kabupaten Flores Timur. Seluruh Tenaga Non ASN dipanggil kembali untuk bekerja dengan skema 3 hari kerja bagi tenaga adminitrasi meski diupah hanya sebesar Rp. 800.000 sampai Rp. 1.000.000, sehingga tidak menuai masalah ketika Menpan-RB mengeluarkan edaran untuk mendata kembali Tenaga Non ASN.
“Betapa tidak, ketika ada regulasi yang mengatur soal keberadaan Tenaga Non ASN yang masah berakhir atau dead line waktu bekerja hanya sampai 29 November 2023 maka pertanyannya kemudian muncul kemana Tenaga Non ASN yang sedang bekerja dilingkup pemerintah selama ini karena praktis di daerah hanya ada ASN dan tenaga PPPK,”tegas Gewura.
Pertanyaan publik dan perdebatan berskala nasional inilah yang menurut G. Fransiksu mendorong pemerintah pusat dalam hal ini Kemenpan – RB mengelurakan Surat Edaran Menpan RB Nomor : B / 1511/ M .SM – 01 00 /2022 untuk melakukan pendataan Tenaga Non ASN dilingkup pemerintah daerah yang sedang bekerja dengan syarat paling sedikit bekerja sampai dengan tanggal 31 Desember 2021.
“Hal ini musti dimaknai oleh pemerintah bahwa tenaga yang terdata adalah benar benar ada dan sedang bekerja dilingkup pemerintah daerah , selain itu tidak boleh direkrut atau diganti dengan pegawai non ASN yang lain,”tuturnya lagi.
Gewura Fransikus mendukung langkah pemerintah untuk melakukan pendataan Tenaga Non ASN karena jika ada yang memenuhi syarat dan berpeluang mengikuti seleksi PPPK maupun seleksi CPNS itu lebih baik lagi, sedangkan bagi Tenaga Non ASN yang memiliki keterampilan khusus diatur melalui aurchorsing atau pihak ketiga.
“Jadi pemerintah punya kewajiban untuk mengatur dan memanage pegawai di daerah ini sesuai regulasi yang diturunkan oleh pemerintah pusat yakni surat Edaran Menpan – RB di maksud . Jangan membangun opini liar dan tidak mendidik bahkan menyulut masalah seakan-akan ada yang berpikir bahwa dengan mendata Tenaga Non ASN di daerah ini untuk diangkat menjadi PNS atau PPPK,”tegasnya serius.
Gewura Fransikus mengharapkan agar Pemerintah Kabupaten Lembata tidak boleh merasa alergi ketika ada sorotan atau rumor yang simpang siur di luar terkait “kesalahan ataupun kekeliruan” dalam mengurus pegawai di daerah ini termasuk Tenaga Non ASN, termasuk juga memberikan edukasi solutif, kontruktif dan sistematis demi menghindari cara berpikir langsung menjadi ASN ketika didata.
Menurut G. Fransiksus, Pemerintah Kabupaten Lembata musti menyadari bahwa masyarakat sudah tahu dan memhami UU No 5 tahun 2014 tentang ASN dan PP no 49 tahun 2018 tentang manejemen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja atau PPK, dengan skema yang diatur pemerintah pusat sampai dead lane waktu 29 November 2023. Setelah itu, pemerintah tidak lagi mengenal ada Tenaga Non ASN, KSO atau PPNPNS di daerah karena itu turunlah SE MENPANRB untuk mendata, memetakan dan mengevaluasi Tenaga Non ASN yang sedang bekerja yang selanjutnya diambil kebijakan oleh pemerintah pusat.
Sekali lagi Gewura Fransiksus mengharapkan agar pemimpin bijak itu memberi solusi bukan menjadi penyulut masalah .
“Berilah pemikiran konstruktif dan jangan mengkerdilkan cara pandang orang dalam menyoroti permasalahan yang mustinya diatur dan ditangani pemerintah secara baik dan bertanggungjawab . Jikalau ingin lari dan menghindari permasalahan maka jangan menjadi pemimpin,”tegasnya. (sultan)