Ende,HRC- Dalam tubuhnya mengalir darah Jawa dan Bali. Sejak kecil ia mengenal tradisi mistik kejawen dari kakek dan neneknya di Tulungagung, Jawa Timur. Ibunya mengajarkan Hinduisme dan Budhaisme. Bapaknya penganut teosofi. Mentor politik sekaligus mertuanya di Surabaya, Haji Oemar Tjokroaminoto, adalah pemimpin Sarekat Islam yang tuntas dalam soal Islamisme.
Bagaimana kedekatan Sukarno dengan kalangan umat Kristen? Nah, berhubung ini memasuki perayaan Paskah, saya juga akan menceritakan kisah si Bung dengan para tokoh Katolik.
Cerita ini saya mulai dari Ende, Flores, tempat Sukarno dibuang pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1934. Ini adalah periode di mana Sukarno sebenarnya banyak merenung, mengambil jarak dari politik.
Ende awalnya bukanlah tempat yang ramah bagi Sukarno—tak seperti di Bandung, di mana orang mengelu-elukannya. Belanda memang sudah mewanti-wanti kepada masyarakat di sana agar jangan dekat-dekat dengan orang interniran atau buangan.
“Di dalam kota Ende terdapat sebuah kampung yang lebih kecil lagi, terdiri dari pondok‐pondok beratap ilalang, bernama Ambugaga. Jalanan Ambugaga itu sangat sederhana, sehingga daerah rambahan di mana terletak rumahku tidak bernama. Tidak ada listrik, tidak ada air leding. Kalau hendak mandi aku membawa sabun ke Wola Wona, sebuah sungai dengan airnya yang dingin dan di tengah‐tengahnya berbingkah-bingkah batu.”
“Di sekeliling dan sebelah menyebelah rumah ini hanya terdapat kebun pisang, kelapa dan jagung. Di seluruh pulau itu tidak ada bioskop, tidak ada perpustakaan ataupun macam hiburan lain. Dalam segala hal maka Ende, di Pulau Bunga yang terpencil itu, bagiku menjadi ujung dunia.”
Sukarno nyaris putus asa. Untunglah, Inggit Garnasih, istrinya, juga mertuanya, Ibu Amsi, selalu menyemangati. Inggit bahkan berinisiatif merekrut seorang remaja setempat bernama Riwu Ga untuk menemani Sukarno jalan ke mana-mana. Lamat-lamat Sukarno pun mulai akrab dengan warga setempat.
Yayasan Ende Flores —organisasi non pemerintah bentukan wakil presiden Boediono— menyumbang riset yang lebih detil tentang Sukarno di Ende. Ada Ignas Kleden dan Daniel Dhakidae di dalamnya, yang selama ini banyak mengulas gagasan-gagasan Sukarno.
Film “Ketika Bung di Ende” (2013) garapan Viva Westi, yang disponsori Kementerian Pendidikan, juga menceritakan ulang keadaan Sukarno dengan sangat baik. Saya kira film ini berhasil menggambarkan situasi batin tokoh utama. Sukarno, yang biasa meledak-ledak saat memimpin PNI, teramat kalem saat di Ende.
Salah satu cerita yang jarang orang tahu adalah kedekatan Sukarno dengan tokoh Katolik di Ende.
St Yosef adalah sebuah biara yang letaknya tak jauh dari rumah pengasingan Sukarno di Ende. Di tengah keterasingan dari dunia pergerakan, tempat ini menjadi sangat berarti bagi Sukarno. Di sanalah Sukarno banyak menghabiskan waktu untuk membaca buku di perpustakaan.
“Selamat siang, Tuan. Ada yang bisa saya bantu?” begitu sambutan seorang biarawan ketika Sukarno baru pertama kali datang, seperti digambarkan dalam film.
“Saya ingin mencari buku-buku pengetahuan. Boleh saya ke ruang baca?” kata Sukarno.
“Sudah minta izin kah?” Biarawan itu menyela.
“Mau baca buku saja harus minta izin.” Sukarno nampak kesal.
“Sudah menjadi peraturan, Tuan.”
Di saat itulah datang Gerardus Huijtink SVD, seorang pastor paroki pertama di Gereja Katolik Ende. Di sampingnya ada Johannes Bouma SVD, pemimpin para pastor di Flores yang juga memimpin Region Sunda Kecil. Setelah berkenalan, Huijtink langsung membawa Sukarno ke ruang baca.
“Tuan Sukarno, bagaimana orang sepenting saudara bisa dikirim ke sini?” Huijtink membuka pembicaraan.
“Menurut Bapa?” Sukarno tersenyum kecut.
“Saya selalu mengikuti perjuangan Anda selama di Jawa. Sebagai Pelayan Tuhan, saya menyetujui apa yang Anda lakukan. Tuhan tidak merestui pengeksploitasian terhadap negara dan
Manusia”
Bangsa ini adalah bangsa yang besar dan kaya. Kami berhak atas negara dan isinya. Kami akan memperjuangkan hingga merdeka.”
“Dan apa arti kemerdekaan bagi Anda?” tanya Huijtink dalam Belanda.
“Bapa yang baik. Kemerdekaan adalah dasar teramat penting bagi negara di mana pun. Baik di Timur ataupun di Barat. Dasar negara untuk kulit putih atau berwarna.”
“Hmm.. Dan bagaimana Anda akan mewujudkannya?”
“Bangsa kami telah mengalami banyak penderitaan dan kesedihan. Bangsa Belanda tidak sadar jika penderitaan membuat manusia semakin kuat. Dari tempaan kesengsaraan tersebut, maka kemerdekaan akan dicapai melalui persatuan rakyat Indonesia menjadi satu negara.”
“Apakah Anda membenci Belanda?”
“Masalahnya bukan bangsa Belanda. Masalahnya adalah imperialisme.”
Sejak pertemuan itu, Sukarno bersahabat dekat dengan Huijtink —juga dengan orang-orang Katolik di Ende. Mereka bahkan memfasilitasi tempat latihan dan panggung pementasan teater garapan Sukarno. Tercatat ada 12 naskah karya Sukarno di Kelimoetoe Toneel Club, sebuah grup teater beranggotakan masyarakat setempat. Salah satu naskahnya yang misterius berjudul Indonesia 45.
Dan aku bersyukur atas usaha ini semua. Ia memberikan keasyikan padaku. Ia mengisi detik‐detik yang suram ini. Setelah tiap kali pertunjukan, kubawa para pemainku makan kerumah. Ya, aku bekerja keras sekali untuk menyelenggarakan sandiwara ini, dan untuk menyenangkan hati pemain‐pemainnya. Ini besar artinya bagiku,” kata Sukarno dalam otobiografi.
Sebelum dipindahkan ke Bengkulu tahun 1938 akibat penyakit malaria, Sukarno, masih di film itu, kembali berdialog dengan Huijtink di tepi danau Kelimutu. Intuisi Huijtink mengatakan Indonesia tidak lama lagi akan menjadi sebuah negara sendiri dan Sukarno adalah presidennya.
“Kelimutu sangat terasa damai di pagi hari. Apa Bapak sering kemari?” Sukarno memulai percakapannya dalam Belanda.
“Saya selalu menyempatkan diri untuk datang ke sini. Memandangi danau-danau dengan tiga warna berbeda membuat kita terbebas dari kekangan teori normatif.”
Sambil merangkul pundak Sukarno, Huijtink melanjutkan, “Presiden Indonesia sebaiknya berjalan di sebelah kanan saya.”
“Bagaimana bisa, Bapa?” Sukarno tertawa ringan.
“Saya tidak merasa pasti. Tapi sebut saja intuisi.”
“Oh, ya Bapa. Kemarin malam saya melihat masyarakat mengadakan selamatan. Di depan rumahnya ada barisan kursi khusus untuk para tamu orang Belanda. Dan di sebelah kanannya digelar tikar yang katanya untuk orang pribumi. Kejadian ini sangat mengganggu saya.”
“Tuhan tidak pernah membedakan manusia dari warna kulitnya. Lalu apa yang terjadi?” tanya Huijtink.
“Saya menyuruh mereka untuk menggeser kursi-kursinya dan menggantikannya dengan tikar. Para tamu Belanda merasa marah kepada saya. Untung ada warga yang setuju akan tindakan saya, datang untuk melerai kami.”
“Tuhan menciptakan manusia dengan berbagai perbedaan. Tapi mereka menyikapi perbedaan itu dengan salah.”
“Saya menentang semua perbedaan perlakuan terhadap pribumi.”
“Saya memikirkan konsepsi saudara tentang perbedaan dan penyatuannya.”
“Konsep saya terlihat jelas dari komposisi para pemain dalam drama saya. Mereka orang-orang dari Jawa, Sabu, Makassar dan Batak. Mereka bersatu untuk mementaskan dramanya, padahal mereka juga berlatar belakang beda dengan agama yang berbeda juga.”
“Hmm… Menarik,” kata Huijtink.
“Di dalam rumah kami, Bertha (pembantunya) beragama Katolik dan kami Muslim. Kami hidup damai dan tentram dalam satu atap.”
Bagaimana Anda menempatkan ibu Anda yang Hindu, orang Budha dan Katolik di tanah yang kebanyakan beragama Islam?”
“Pertanyaan itu yang saya sedang pikirkan jawabannya, Bapa. Kemerdekaan Indonesia akan memberikan jaminan kebebasan beragama bagi warga negaranya yang sesuai dengan keyakinan masing-masing.”
“Tuan Sukarno. Jika suatu saat Tuan kembali lagi ke Ende, Tuan akan datang sebagai presiden Indonesia.”
“Terima kasih, Bapa. Terima kasih.”
Begitulah, Ende menjadi bagian yang melengkapi pemikiran Sukarno tentang Indonesia Merdeka. Ia menggali kembali nilai-nilai kebangsaan Indonesia yang sudah ada sejak jaman dulu kala.
Hasil kontemplasi itu kemudian dibacakan dalam pidato monumentalnya di depan Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 1 Juni 1945. Pidato itu dikenal sebagai pidato lahirnya Pancasila.
“Marilah kita amalkan, jalankan agama, baik Islam, maupun Kristen, dengan cara yang berkeadaban. Apakah cara yang berkeadaban itu? Ialah hormat-menghormati satu sama lain,” kata Sukarno dalam pidatonya.
Saat datang ke Ende 1951, Sukarno seperti menjawab harapan Huijtink. Di atas podium, di lapangan Ende, Sukarno berkata:
“Ketika saya berada di Ende tahun 1934 saya berkenalan dengan seorang pater yang bernama Huijtink. Adakah pater tersebut di antara saudara-saudara?”
Huijtink mengangkat tangan. Sukarno memintanya maju ke podium.
“Dulu, aku datang ke Ende sebagai tahanan dan orang buangan dan Pater Huijtink banyak sekali membantuku. Sekarang, aku kembali ke Ende sebagai presiden. Apa yang Pater Huijtink minta dari presiden?” kata Sukarno.
Huijtink menjawab cepat, “Tuan Presiden, saya tidak meminta apa pun yang lain. Saya hanya punya satu keinginan: menjadi warga negara Indonesia.”
Sukarno spontan menanggapi permintaan Huijtink, “Sejak saat ini saya sebagai Presiden Republik Indonesia memutuskan untuk memberikan kewarganegaraan kepada Pater Huijtink. Hal-hal yang menyangkut urusan administratif akan diatur di kemudian hari.”
Huijtink akhirnya tercatat sebagai warga negara Indonesia dan mengabdikan hidupnya sebagai pastor di Ende. Ia meninggal dan dimakamkan di sana juga.
Selain mengenal Huijtink, dalam otobiografinya, Sukarno juga mengatakan belajar agama Kristen kepada Frans van Lith, seorang imam Yesuit asal Oirschot, Belanda, yang meletakkan dasar karya Katolik di Jawa.
“Kupelajari agama Kristen pada Van Lith. Aku terutama menaruh perhatian pada Khotbah di Atas Bukit. Inspirasi Yesus menyemangati orang‐orang syahid yang mula‐mula, karena itu mereka berjalan menuju kematiannya sambil menyanyikan Zabur pujian untuk‐Nya, karena mereka tahu: Kami meninggalkan Kerajaan ini, akan tetapi kami akan memasuki Kerajaan Tuhan.”
“Aku berpegang teguh pada itu. Aku membaca dan membaca kembali Injil. Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru tidak asing lagi bagiku. Aku seringkali mengulang mempelajarinya. Kemudian aku membaca Al Quran.”
Peran Frans sangat besar dalam perkembangan agama Katolik di sekitar Jawa Tengah seperti Semarang dan Magelang. Ia juga seorang tokoh pendidik, yang mendirikan sejumlah sekolah Katolik untuk pribumi.
Pada tahun 1911 dibuka secara resmi seminari (sekolah calon pastor) pertama di Indonesia. Satu lulusan di antaranya adalah Soegijapranata, yang kemudian menjadi Uskup Keuskupan Agung Semarang—uskup pertama pribumi.
Soegija sangat dekat dengan Sukarno. Ketika Revolusi Indonesia berkecamuk, Soegija menggalang kekuatan umat Katolik untuk mendukung penuh kemerdekaan Indonesia. Semboyannya yang terkenal adalah 100% Katolik, 100% Indonesia.
Saking dekat secara emosional, Sukarno tak rela Soegija yang meninggal di Belanda pada 22 Juli 1963 dimakamkan di sana. Sukarno ingin Soegija dimakamkan di Indonesia. Jenazah pun segera dibawa pulang. Setahun berikutnya, Sukarno mengangkat Soegija sebagai pahlawan.
Sekolah gagasan Frans juga melahirkan tokoh penting Indonesia lain, sebutlah Ignatius Joseph Kasimo yang merupakan pendiri Partai Katolik Indonesia. Kasimo adalah bagian pelopor kemerdekaan, yang menjadi menteri beberapa kali dalam pemerintahan Sukarno.
Dan, seperti itulah, ide kebangsaan Sukarno tentang ‘Bhineka Tunggal Ika’ akhirnya memang diterima dunia—tak terkecuali oleh Vatikan, pusat gereja Katolik. Sukarno tercatat menerima tiga medali kehormatan tertinggi dari Vatikan.
Medali pertama diterima pada 13 Agustus 1956 dari Paus Pius XII. Yang kedua dari Paus Yohanes XXIII, pada 14 Mei 1959. Ketiga kalinya, pada 12 Oktober 1964, Paus Paulus VI yang menyematkannya.
Pada kunjungan terakhirnya ke Vatikan Sukarno bahkan dibuatkan perangko khusus dan dihadiahi lukisan mosaik Castel san Angelo Vatican.
“Aku seorang Islam yang hingga sekarang telah memperoleh tiga buah medali yang tertinggi dari Vatikan. Bahkan presiden dari Irlandia pun mengeluh padaku bahwa ia hanya memperoleh satu,” kata Sukarno. (Eshy)