Adonara,HRC- Bagai serial tak berkesudahan. Demikian pulah kisah tentang Jembatan Tambatan Prahu [JTP], yang dibangun pemerintah negeri ini di desa Wailebe, kecamatan Wotan Ulumado, kabupaten Flores Timur, tahun anggaran 2015.
Kisah inipun berawal dari mimpi pemerintah, lagi-lagi, mimpi pemerintah negeri ini untuk menggenapi sketsa mimpi puluhan pemilik kapal penyeberangan lintas Wailebe – Larantuka yang kesulitan melabuhkan armadanya di pelabuhan rakyat desa Wailebe. Setidaknya, dengan mendandani JTP, keresahan pemilik kapal bisa terobati. Namun apa hendak dikata. JTP yang dibangun itupun kemudian bermasalah. Tidak saja pada fisik pekerjaannya, tetapi juga, tidaklah layak sebagai labuh tambat perahu. Karena itu warga setempat, dengan swadaya seadanya membangun jembatan kayu di samping JTP sebagai alternative antisipatif labuh tambat.
Tetapi, seperti buah simalakam, dimakan ayah mati, demikian juga dimakan ibu. Jembatan kayu di samping JTP itupun ambruk, rebah menyusur bibir pantai saat surut pada hari Senin, 28 November 2022 sekitar pkl. 7.30.
Ini dosa siapa. Apakah dosa akibat konstruksinya kurang kuat, ataukah dosa karena struktur fisik bangunannya asal jadi ataukah dosa karena anggaranya masih sangatlah kurang.. jawabnya—tentu direlung hati.
Rofinus Tokan, kepada HRC di Wailebe, Wotan Ulumado, pada hari yang sama, Senin, 28 November 2022 meriwayatkan kembali, atau dalam bahasa lainnya, mengenang kembali proses pembangunan JTP Wailebe pasca ambruknya jembatan kayu, mengatakan dana pembangunan JTP itu berasal dari sharing chost antara pemerintah Republik Indonesia melalui ‘brankas’ APBN dengan brankas APBD II Kabupaten Flores Timur.
Shering kost itu, menurut putra asli desa Wailebe ini menjadi formula kolaboratif ideal yang sangat bagus, adil dan merata dimana pemerintah Republik Indonesia tidak saja berpangku tangan melihat nasib warga [baca-pemilik kapal] yang terus terombang-ambing, ataupun juga dengan ‘tuan tanah’ Flores Tim tempat dimana Jembatan Tambatan Perahu (JTP) ini dibangun.
Jadilah JTP itu dibangun. Penantian panjang Rofin Tokan bersama para pemilik armada kapal lain perlahan mulai terobati. Dalam diam mereka mengucap syukur. Tetapi, apalah daya, fisik jembatan itu sangatlah jauh dari peruntukannya, jauh panggang dari api. JTP itu, tak layak dipakai. Padahal, luas lahan lokasi JTP hampir Satu hektar itu dihibahkan secara ‘olung-olung’ alias cuma-cuma, tanpa ganti rugi oleh Lewo Lamaniat, Desa Wailebe kepada Pemerintah Daerah Flores Timur yang kala itu dipimpin Bupati Yosni Herin, dengan harapan agar JTP yang dibangun itu memenuhi standar labuh tambat. Tetapi apa yang salah.
‘Dan proses Pembangunan Jembatan Tambatan Prahu (JTP) Wailebe pun, mulai dikerjakan. Pucuk dicinta, ulampun tiba. Tak tanggung-tanggung. Dari Jakarta, negeri ini mengirim 1 milyar dari brankas APBN. Demikian juga sang ‘tuan rumah’, Pemda Flotim juga merogoh kocek APBD II sebesar 7 ratus juta. Semua demi menggenapi sketsa mimpi,’tutur Rofin.
Namun apa yang terjadi, demikian Rofin, bagai cerita silat, proses pengerjaan proyek JTP yang menelan anggaran sebesar 1, 7 milyar itu praktis ditengarai ‘bermasalah’ berdasarkan analisis dan auditing dan masuk kategori Tindak Pidana Korupsi [TIPIKOR] yang seluruh instrumen proses hukumnya berlangsung di pengadilan Tipikor Kupang.
Akhirnya warga Waileba memutuskan untuk melakukan kerja kolaboratif, gotong royong melibatkan para pemilik Kapal Penyeberangan Lintas Wailebe – Larantuka PP bersama semua Nahkoda dan ABK serta seluruh Masyarakat Desa Wailebe di tahun 2018, mengerjakan jembatan kayu bersama-sama, sebagai solusi bijak saat air pasang surut agar penyebrangan penumpang dan barang dapat terlayani dengan baik. Beberapa tahun kemudian, tepatnya di tahun 2021, jembatan kayu tersebut diperbaiki dengan mengganti beberapa tiang yang rusak.
Dan sial apa yang menimpa JTP Wailebe, sehingga, pagi-pagi benar JTP ini jembatan kayu yang ada disampingnya rubuh dan ambruk. Ini salah siapa. Ini dosa siapa.
Rubuhnya jembatan kayu itu mengingatkan kembali tentang JTP yang tidak bisa berfungsi secara baik, karena perahu motor tidak bisa sandar saat air laut pasang surut. Rubuhnya jembatan kayu itu mengingatkan kembali tentang biaya pembuatannya ditanggung oleh para pemilik kapal lintasan penyebrangan Wailebe –Larantuka. [algrod]