Lembata, HRC- Thomas B. Ataladjar, sang “stoper” buku bertajuk “Lembata Dalam Pergumulan Sejarah dan Perjuangan Otonominya” mengajukan pertanyaan reflektif berdasarkan disposisi batinnya ” Apakah Kami Masih Anak Tanah Lembata?”.
Pertanyaan ini dikemukakanya penulis dan sastrawan Indonesia asal Lembata begitu dirinya bersama warga diaspora lainnya seolah menemukan oase di tengah padang gersang yang hampir 22 tahun otonomi Lembata tidak diberi ruang oleh Pemerintah Daerah sebelumnya.
Ia mengungkapkan bahwa amat sangat sungguh menyenangkan sejak 22 tahun Lembata otonom baru kali ini, di HUT Otonomi Lembata ke-23 dirinya boleh hadir mengikuti upacara peringatan Otda di kantor Bupati Lembata pagi tadi.
Thomas Atalajar mengungkapkan hal itu di hadapan Penjabat Bupati Lembata Marsianus Jawa, Ketua DPRD Kabupaten Lembata, Petrus Gero, Guru Besar Ilmu Komunikasi Budaya, Universitas Nusa Cendana Kupang, Prof. DR. Alo Liliweri, MS., Dosen Senior Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, DR. Yoseph Yapi Taum, M.Hum., Tokoh dibalik perjuangan otonomi Lembata yang juga anggota DPR RI dari partai Nasdem, H. Sulaeman L. Hamzah, Diaspora Lembata Jakarta dan segenap undangan yang memenuhi aula Palm Indah Hotel saat peluncuran perdana buku “Lembata Dalam Pergumulan Sejarah dan Perjuangan Otonominya”, Rabu (12/10) siang,
Penulis buku ini mengungkapkan isi hatinya secara reflektif berdasarkan perasaan ataupun jeritan hati anak-anak lewotana, keluarga besar diaspora Lembata di perantauan berdasarkan kenyataan pahit yang dirasakannya selama hamper 22 tahun dirinya merasa seperti orang “asing” bagi tanah airnya Lembata.
“Sepertinya semenjak Otda Lembata, 12 Oktober 1999, telah mengabaikan anak tanah di perantauan yang ingin mendedikasikan karya intelektual melalui sumbangan pikiran dan gagasan dalam mengisi otonomi Lembata. Namun kran komunikasi itu tertutup rapat, baru kali ini, dimasa pemerintahan penjabat Bupati Lembata Marsianus Jawa kran komunikasi yang tersumbat tersebut mulai dibuka,”tegasnya.
“Baru kali ini kami merasa dihargai. Saya menyampaikan terima kasih kepada Pemerintah Kabupaten Lembata, sekaligus juga penghargaan kepada segenap perintis, pelopor, penginisiatif, pelaku sejarah dan pejuang Lembata atas jasa dan pengorbanan tanpa pamrih memperjuangkan otonomi Lembata sejak dicetuskan Statement 7 Maret 1954 hingga terbentuknya Kabupaten Lembata.”, kata Ataladjar.
Dia bercerita tentang terkait peluncuran buku ini, dimana jejak sejarah panjang perjuangan rakyat Lembata digumulinya sejak 30-an tahun ketika dirinya dipercayakan menjadi Pemimpin Redaksi tabloid Suara Lembata terbitan Jakarta.
Dari situlah dirinya memulai kerja “hitori” dengan mengumpulkan bahan-bahan. Tahun 1999 dirinya diberi tugas khusus oleh delegasi perjuangan otonomi Lembata untuk mendokumentasikan dan mempublikasikan seluruh kegiatan delegasi di Jakarta.
Thomas Ataladjar bersyukur karena masih mendapatkan informasi dari narasumber langsung dari tokoh-tokoh sejarah statement 7 Maret yang kebanyakan masih hidup saat itu.
Baginya tidaklah mudah menulis buku tentang sejarah Lembata.
“Sangat tidak mudah, karena pertama kita masih berkutat pada kisah. Kedua, kita tidak punya refrensi tertulis yang memadai untuk menghasilkan buku yang diterima. Ketiga, kita kekurangan penulis-penulis muda yang tangguh”, katanya.
Tiga hal itulah yang menjadi dasar pemikiran dan pemicu bagi dirinya untuk menggambarkan keadaan sejarah Lembata yang sulit untuk diangkat sebagai sebuah sejarah dari Nusa Lomblen. Padahal jika digeluti dengan tekun, dari serpihan sejarah masa lampau, ditemukan begitu banyak kekayaan sejarah.
“Bumi Lembata kaya akan peradaban yang tinggi, yang belum digali secara maksimal”, ungkap Ataladjar. (aligeroda)